Recent attempts to measure the quality of life or subjective well-being show promise for a more helpful and accurate appraisal of the collective and individual state of people than objective, economically-oriented indicators have allowed. Unfortunately, the quality of life movement has virtually ignored the religious dimension of life and the part that such beliefs and practices play in well-being.Kutipan di atas merupakan ungkapan kegelisahan Craig W. Ellison yang terdapat di dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul "Spiritual Well-Being: Conceptualization and Measurement" (1983). Sejak awal tahun 60-an hingga akhir tahun 80-an, terjadi peningkatan minat penelitian tentang well-being. Keminatan tersebut membuahkan beragam temuan penelitian yang dapat memperkaya khazanah pengetahuan seputar usaha-usaha yang dilakukan manusia guna meningkatkan kualitas hidupnya. Salah satu temuan penting yang ditulis oleh Ellison (1983), yaitu tentang 3 (tiga) aspek kebutuhan dasar manusia—the need for: having, relating, & being.
The need for having berkaitan dengan perolehan sumber daya kehidupan yang sifatnya materialistis (misalnya: punya penghasilan tinggi, harta benda, dsb). The need for relating berkaitan dengan pola relasi sosial (misalnya: punya keintiman, popularitas, dsb). Sedangkan, the need for being berkaitan dengan pemenuhan harapan/ambisi personal (misalnya: punya prestasi, kekuasaan, dsb). Korelasi di antara ketiganya mempengaruhi persepsi seseorang atas kepuasan hidupnya (subjective well-being)—semakin dinilai positif, seseorang makin merasa puas dengan kehidupan yang ia miliki.
Banyak peneliti topik well-being yang mengagungkan 3 (tiga) aspek kebutuhan dasar di atas—karena dianggap valid dan reliabel dalam memprediksi kepuasan hidup seseorang—sehingga mereka mengabaikan satu aspek penting lain yang juga relevan dan signifikan dalam mempengaruhi kualitas hidup seseorang (Ellison, 1983). Aspek itu disebut the need for transcendence, yaitu kebutuhan untuk mengalami rasa "kebermaknaan dalam hidup" karena seseorang telah menemukan tujuan hidupnya dan berkomitmen untuk melibatkan diri dalam upaya-upaya pencapaian tujuan hidup tersebut. Ellison (1983) merasa heran dengan fenomena yang terjadi di kalangan peneliti well-being tersebut. Pasalnya, berdasarkan hasil survei Gallup Poll sepanjang tahun 70-an, kala itu 86% warga Amerika Serikat menganggap agama/kepercayaan punya peran penting dalam mempengaruhi hidup mereka.
Berangkat dari rasa heran dan gelisah itulah, pada tahun 1982, Paloutzian & Ellison mulai merumuskan konsep Spiritual Well-Being, sekaligus menyusun skala pengukurannya—Spiritual Well-Being Scale (Ellison, 1983). Hingga saat ini, baik konsep maupun skala pengukurannya, Spiritual Well-Being masih terus dikembangkan (lihat Biglari Abhari dkk, 2018; Esperandio dkk, 2018; Simkin & Piedmont, 2018). Pengembangan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan pengaruh konteks sosio-kultural terhadap praktik-praktik spiritual yang dijalani seseorang (Neal, 2018).
![]() |
| Spiritual Well-Being Scale (Ellison, 1983) |

Tidak ada komentar:
Posting Komentar